Ujian Nasional (UN) adalah sistem evaluasi standar
pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat
pendidikan antardaerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikann,
Departemen Pendidikan Nasional (Wikipedia). Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun
2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa evaluasi pendidikan
adalah kegiatan pengembangan, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan
terhadap berbafai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan (bab I
pasal 1 ayat 21). Jika kita telisik lebih dalam lagi UU Nomor 20 Tahun 2003, di
dalamnya sama sekali tidak terdapat kata Ujian Nasional, yang ada adalah
evaluasi pendidikan. Jadi, apakah benar penyelenggaraan UN selama ini telah
berjalan sesuai fungsinya sebagai pengevaluasi pendidikan?
Ditinjau dari mata pelajaran yang diujikan, dapat
dikatakan bahwa UN hanya mengevaluasi kemampuan siswa dari aspek kognotif. Hal
ini tentu saja menyimpang dari tujuan pendidikan nasional yang mencakup aspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Akibatnya munculah paradigma di masyarakat
bahwa prestasi akademik adalah tolak ukur kecerdasan seseorang. Ini tentu saja
tidak benar, mengingat kemampuan seseorang yang berbeda satu sama lain.
Adanya UN juga memberikan tekanan psikologis
tersendiri bagi para siswa. Siswa terkesan dituntut untuk menguasai materi
akademik saja dan mengabaikan kemampuan nonakademik. Bidang akademik hanya
dinomorduakan dan parahnya ada yang menganggap bahwa kegiatan nonakademik hanya
penghambat untuk mencapai prestasi akademik.
Menilik tahun-tahun sebelumnya, ada banyak hal yang
perlu dievaluasi dalam pelaksanaan UN. Sudah menjadi rahasia umum (atau bahkan
bukan rahasia lagi) bahwa setiap UN pasti selalu ada kasus bocoran soal. Kasus
ini seperti sebuah kecurangan sistematis yang telah tersusun rapid an sulit
sekali diusut. Dilansir dari situs https://rinaldimunir.wordpress.com/, di bilangan Jakarta Barat mekanisme pedistribusian
bocoran soal UN melibatkan para guru dan kepala sekolah yang tergabung dalam
Tim Sukses UN. Semua anggota tim diberi tugas yang berbeda. Ada yang
mendapatkan lembar soal, membuka, mengelem, menjawab soal, mendistribusikan
jawaban, hingga bekerja sama dengan pengawas. Masih terkait dengan kasus
kecurangan UN, di wilayah yang berbeda, tepatnya di Lamongan, tujuh puluh
kepala sekolah dan guru berkomplot mencuri soal UN pada pelaksanaan UN tahun
2014 lalu. Berita selengkapnya dapat Anda baca di sini Sungguh ironis sekali
jika guru yang sejatinya bertugas untuk mendidik karakter siswa justru terlibat
dalam kecurangan sistematis ini.
Beralih dari masalah bocoran soal, masih ada hal
lain lagi yang berlu dievaluasi dalam pelaksanaan UN, yaitu teknis pelaksanaan
UN itu sendiri. Pada tahun 2013 misalnya, di mana UN untuk tingkat SMA dan SMK
bisa dikatakan sangat kacau. Sebelas provinsi dilaporkan belum menerima paket
soal pada saat UN berlangsung. Sementara di sejumlah daerah lain pihak sekolah
mengeluhkan kekurangan lembar soal dan lembar jawaban, paket mata pelajaran
tertukar, juga kualitas kertas yang buruk sehingga mudah sobek. Sederet
permasalahan ini menyebabkan UN di sebelas provinsi terpaksa ditunda. Di
tahun selanjutnya, 2014, UN kembali menuai kritik yang datangnya dari siswa dan
guru. Standar soal yang terlampau tinggi dan menyimpang dari Standar Kriteria
Kelulusan (SKL) membuat para siswa kesulitan dalam mengerjakan soal hingga
banyak dari mereka yang pesimis akan nilai ujian nasiolnya.
Penyelenggaraan UN yang tidak optimal pada tahun
2013 juga berpengaruh terhadap APBN. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan
adanya kerugian Negara dalam penyelenggaraan UN tingkat pendidikan dasar dan
menengah yang bersumber dari dana APBN tahun 2012-2013. Hasil pemeriksaan
menunjukkan adanya 14 kasus yang mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp 37,55
milyar. Hal ini dikarenakan anggaran disusun hanya berdasarkan pengalaman tahun
sebelumnya (2012) tanpa mendasarkan dokumen pendukung yang lengkap dan tanpa
dasar perhitungan (nasional.news.viva.vo.id).
Terlepas dari segala kekurangan dan berbagai bentuk
penyimpangan yang menyertai pelaksanaan UN, kewenangan penyelenggaraan UN tetap
menjadi hak dan kewajiban legal Pemerintah. Saya pribadi sebagai seorang calon
guru tentu sangat berharap supaya diadakan evaluasi yang serius terhadap
pelansanaan UN dan mengatasi semua masalah sampai ke akar-akarnya.
Bagaimanapun, UN sebagai sarana untuk evaluasi pendidikan haruslah bersifat evaluative dan
seimbang antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Jangan sampai
pelaksanaan UN yang kacau (hingga kecurangan yang menyertainya) menjadi
cerminan pendidikan di Indonesia.Ujian Nasional (UN) adalah sistem ecaluasi standar
pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat
pendidikan antardaerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikann,
Departemen Pendidikan Nasional (Wikipedia). Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun
2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa evaluasi pendidikan
adalah kegiatan pengembangan, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan
terhadap berbafai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan (bab I
pasal 1 ayat 21). Jika kita telisik lebih dalam lagi UU Nomor 20 Tahun 2003, di
dalamnya sama sekali tidak terdapat kata Ujian Nasional, yang ada adalah
evaluasi pendidikan. Jadi, apakah benar penyelenggaraan UN selama ini telah
berjalan sesuai fungsinya sebagai pengevaluasi pendidikan?
Ditinjau dari mata pelajaran yang diujikan, dapat
dikatakan bahwa UN hanya mengevaluasi kemampuan siswa dari aspek kognotif. Hal
ini tentu saja menyimpang dari tujuan pendidikan nasional yang mencakup aspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Akibatnya munculah paradigm di masyarakat
bahwa prestasi akademik adalah tolak ukur kecerdasan seseorang. Ini tentu saja
tidak benar, mengingat kemampuan seseorang yang berbeda satu sama lain.
Adanya UN juga memberikan tekanan psikologis
tersendiri bagi para siswa. Mereka terkesan dituntut untuk menguasai materi
akademik saja dan mengabaikan kemampuan nonakademik. Bidang akademik hanya
dinomorduakan dan parahnya ada yang menganggap bahwa kegiatan nonakademik hanya
penghambat untuk mencapai prestasi akademik.
Menilik tahun-tahun sebelumnya, ada banyak hal yang
perlu dievaluasi dalam pelaksanaan UN. Sudah menjadi rahasia umum (atau bahkan
bukan rahasia lagi) bahwa setiap UN pasti selalu ada kasus bocoran soal. Kasus
ini seperti sebuah kecurangan sistematis yang telah tersusun rapid an sulit
sekali diusut. Dilansir dari situs www.rinaldimunir.wordpress.com, di bilangan Jakarta Barat mekanisme pedistribusian
bocoran soal UN melibatkan para guru dan kepala sekolah yang tergabunng dalam
Tim Sukses UN. Semua anggota tim diberi tugas yang berbeda. Ada yang
mendapatkan lembar soal, membuka, mengelem, menjawabsoal, mendistribusikan
jawaban, hingga bekerja sama dengan pengawas. Masih terkait dengan kasus
kecurangan UN, di wilayah yang berbeda, tepatnya di Lamongan, tujuh puluh
kepala sekolah dan guru berkomplot mencuri soal UN pada pelaksanaan UN tahun
2014 lalu. Berita selengkapnya dapat Anda baca di sini. Sungguh ironis sekali
jika guru yang sejatinya bertugas untuk mendidik karakter siswa justru terlibat
dalam kecurangan sistematis ini.
Beralih dari masalah bocoran soal, masih ada hal
lain lagi yang berlu dievaluasi dalam pelaksanaan UN, yaitu teknis pelaksanaan
UN itu sendiri. Pada tahun 2013 misalnya, di mana UNuntuk tingkat SMA dan SMK
bisa dikatakan sangat kacau. Sebelas provinsi dilaporkan belum menerima paket
soal pada saat UN berlangsung. Sementara di sejumlah daerah lain pihak sekolah
mengeluhkan kekurangan lembar soal dan lembar jawaban, paket mata pelajaran
tertukar, juga kualitas kertas yang buruk sehingga mudah sobek. Sederet
permasalahan ini ya, menyebabkan UN di sebelas provinsi terpaksa ditundi. Di
tahun selanjutnya, 2014, UN kembali menuai kritik yang datangnya dari siswa dan
guru. Standar soal yang terlampau tinggi dan menyimpang dari Standar Kriteria
Kelulusan (SKL) membuat para siswa kesulitan dalam mengerjakan soal hingga
banyak dari mereka yang pesimis akan nilai ujian nasiolnya.
Penyelenggaraan UN yang tidak optimal pada tahun
2013 juga berpengaruh terhadap APBN. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan
adanya kerugian Negara dalam penyelenggaraan UN tingkat pendidikan dasar dan
menengah yang bersumber dari dana APBN tahun 2012-2013. Hasil pemeriksaan
menunjukkan adanya 14 kasus yang mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp 37,55
milyar. Hal ini dikarenakan anggaran disusun hanya berdasarkan pengalaman tahun
sebelumnya (2012) tanpa mendasarkan dokumen pendukung yang lengkap dan tanpa
dasar perhitungan (nasional.news.viva.vo.id).
Terlepas dari segala kekurangan dan berbagai bentuk
penyimpangan yang menyertai pelaksanaan UN, kewenangan penyelenggaraan UN tetap
menjadi hak dan kewajiban legal Pemerintah. Saya pribadi sebagai seorang calon
guru tentu sangat berharap supaya diadakan evaluasi yang serius terhadap
pelansanaan UN dan mengatasi semua masalah sampai ke akar-akarnya.
Bagaimanapun, UN sebgai evaluasi pendidikan haruslah bersifat evaluatif dan
seimbang antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Jangan sampai
pelaksanaan UN yang kacau (hingga kecurangan yang menyertainya) menjadi
cerminan pendidikan di Indonesia.
P.S.
Essai ini saya tulis saat masih duduk di bangku SMA guna memenuhi tugas Bahasa Indonesia. Saya tulis ulang dengan sedikit perubahan seperlunya.