26 March 2015

Revitalisasi Perpustakaan PGSD, Perlukah?

1

Revitalisasi Perpustakaan PGSD, Perlukah?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perpustakaan adalah tempat, gedung, ruang yang disediakan untuk pemeliharaan dan penggunaan koleksi buku dan sebagainya. Dapat pula didefinisikan sebagai koleksi buku, majalah, dan bahan kepustakaan lainnya yang disimpan untuk dibaca, dipelajari, dibicarakan. Sebuah perpustakaan yang baik tentu harus memiliki standar kelayakan yang harus dipenuhi supaya mampu memenuhi fungsinya sebagai salah satu tempat sumber informasi, pusat belajar, dan aktivitas ilmiah ilmiah lainnya. Pengelolaan perpustakaan yang baik dapat membuat pengunjung nyaman sehingga dapat meningkatkan minat baca seseorang. Namun, bagaimana bila pengelolaan perpustakaan kurang baik dan belum memenuhi standar kelayakan?

Inilah salah satu permasalahan yang ada di kampus PGSD Unnes Ngaliyan. Perpustakaan yang terletak di dalam gedung microteaching ini hanya dikelola oleh seorang pustakawan. Mengingat banyaknya mahasiswa yang sering meminjam buku di perpustakaan, tentu membuat pustakawan kuwalahan. Ditambah lagi kuantitas dan jenis serta variasi buku yang terbatas menyebabkan mahasiswa kesulitan dalam mencari referensi buku yang relevan untuk mengerjakan tugas kuliah. Sistem peminjaman buku pun masih menggunakan cara manual, yaitu pustakawan menulis kode buku, tanggal peminjaman dan pengembalian di kartu perpustakaan. Mekanisme peminjaman yang demikian saya rasa tidak efektif. Bisa dibayangkan, bagaimana repotnya seorang pustakawan yang harus melayani banyak sekali mahasiswa. Tak hanya itu, juga tidak ada waktu yang pasti untuk buka dan tutup perpustakaan. Berbagai permasalahan tersebut tentu saja mengganggu mekanisme peminjaman buku di perpustakaan yang bisa berdampak pada terhambatnya pengerjaan tugas bagi para mahasiswa. Dampak lainnya yaitu minimnya variasi bahan bacaan menyebabkan mahasiswa hanya membaca materi dari sumber yang sama. Padahal adakalanya buku-buku tersebut tidak memuat materi yang lengkap. Sehingga mahasiswa kurang dapat belajar secara utuh. Hal ini berimbas pada terhampatnya perkembangan pemikiran dan gagasan-gagasan futuristik dari para mahasiswa.


Dengan berbagai kekurangannya, revitalisasi perpustakaan PGSD merupakan suatu kebutuhan. Ada beberapa hal mendasar yang perlu dibenahi dari perpustakaan PGSD ini, yaitu menambah jumlah pustakawan, menambah jumlah koleksi buku, dan sistem komputerisasi dalam peminjaman dan pengembalian buku. Banyaknya mahasiswa yang membutuhkan jasa peminjaman buku di perpustakaan tidak sebanding dengan jumlah petugas perpustakaan yang hanya satu orang. Untuk itu diperlukan penambahan petugas perpustakaan supaya pelayanan peminjaman/pengembalian buku menjadi lebih efisien. Selain itu, perlu adanya penambangan jumlah koleksi buku. Variasi bahan bacaan dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa, sehingga dapat mengembangkan pemikiran, ide, serta gagasan-gagasan yang baru. Dan yang terkahir adalah sistem komputerisasi dalam mekanisme peminjaman dan pengembalian buku. Sistem peminjaman dan pengembalian yang masih menggunakan cara yang manual tentu tidak praktis. Sistem komputerisasi akan memudahkan mekanisme peminjaman dan pengembalian buku serta mempermudah manajemen perpustakaan itu sendiri.


Saya selaku mahasiswa PGSD Unnes tentu sangat berharap revitalisasi perpustakaan segera dilaksanakan supaya tercipta perpustakaan yang nyaman dan mampu memenuhi kebutuhan sumber informasi dan kepustakaan yang mumpuni bagi para mahasiswa.

20 March 2015

Mengapa "Darmacitya"?

1

Blog ini saya khususkan untuk memposting tulisan yang berkaitan dengan dunia pendidikan, baik berita dan isu tentang dunia pendidikan maupun tips dan berbagai materi pembelajaran.

Mengapa "Darmacitya"?
Darmacitya berasal dari kata Adarma dan Acitya yang saya ambil dari bahasa Sansekerta. Adarma berarti mengabdi, dan Acitya bisa diartikan sebagai ilmu pengetahuan. Harapan saya blog ini mampu menjadi sarana edukasi dan tempat untuk berbagi ilmu dan pengetahuan.

Ujian Nasional, Kebijakan Dilematis Pemicu Kecurangan Sistematis

1

Ujian Nasional (UN) adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antardaerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikann, Departemen Pendidikan Nasional (Wikipedia). Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengembangan, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbafai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan (bab I pasal 1 ayat 21). Jika kita telisik lebih dalam lagi UU Nomor 20 Tahun 2003, di dalamnya sama sekali tidak terdapat kata Ujian Nasional, yang ada adalah evaluasi pendidikan. Jadi, apakah benar penyelenggaraan UN selama ini telah berjalan sesuai fungsinya sebagai pengevaluasi pendidikan?

Ditinjau dari mata pelajaran yang diujikan, dapat dikatakan bahwa UN hanya mengevaluasi kemampuan siswa dari aspek kognotif. Hal ini tentu saja menyimpang dari tujuan pendidikan nasional yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Akibatnya munculah paradigma di masyarakat bahwa prestasi akademik adalah tolak ukur kecerdasan seseorang. Ini tentu saja tidak benar, mengingat kemampuan seseorang yang berbeda satu sama lain.

Adanya UN juga memberikan tekanan psikologis tersendiri bagi para siswa. Siswa terkesan dituntut untuk menguasai materi akademik saja dan mengabaikan kemampuan nonakademik. Bidang akademik hanya dinomorduakan dan parahnya ada yang menganggap bahwa kegiatan nonakademik hanya penghambat untuk mencapai prestasi akademik.

Menilik tahun-tahun sebelumnya, ada banyak hal yang perlu dievaluasi dalam pelaksanaan UN. Sudah menjadi rahasia umum (atau bahkan bukan rahasia lagi) bahwa setiap UN pasti selalu ada kasus bocoran soal. Kasus ini seperti sebuah kecurangan sistematis yang telah tersusun rapid an sulit sekali diusut. Dilansir dari situs https://rinaldimunir.wordpress.com/, di bilangan Jakarta Barat mekanisme pedistribusian bocoran soal UN melibatkan para guru dan kepala sekolah yang tergabung dalam Tim Sukses UN. Semua anggota tim diberi tugas yang berbeda. Ada yang mendapatkan lembar soal, membuka, mengelem, menjawab soal, mendistribusikan jawaban, hingga bekerja sama dengan pengawas. Masih terkait dengan kasus kecurangan UN, di wilayah yang berbeda, tepatnya di Lamongan, tujuh puluh kepala sekolah dan guru berkomplot mencuri soal UN pada pelaksanaan UN tahun 2014 lalu. Berita selengkapnya dapat Anda baca di sini Sungguh ironis sekali jika guru yang sejatinya bertugas untuk mendidik karakter siswa justru terlibat dalam kecurangan sistematis ini.

Beralih dari masalah bocoran soal, masih ada hal lain lagi yang berlu dievaluasi dalam pelaksanaan UN, yaitu teknis pelaksanaan UN itu sendiri. Pada tahun 2013 misalnya, di mana UN untuk tingkat SMA dan SMK bisa dikatakan sangat kacau. Sebelas provinsi dilaporkan belum menerima paket soal pada saat UN berlangsung. Sementara di sejumlah daerah lain pihak sekolah mengeluhkan kekurangan lembar soal dan lembar jawaban, paket mata pelajaran tertukar, juga kualitas kertas yang buruk sehingga mudah sobek. Sederet permasalahan ini menyebabkan UN di sebelas provinsi terpaksa ditunda. Di tahun selanjutnya, 2014, UN kembali menuai kritik yang datangnya dari siswa dan guru. Standar soal yang terlampau tinggi dan menyimpang dari Standar Kriteria Kelulusan (SKL) membuat para siswa kesulitan dalam mengerjakan soal hingga banyak dari mereka yang pesimis akan nilai ujian nasiolnya.

Penyelenggaraan UN yang tidak optimal pada tahun 2013 juga berpengaruh terhadap APBN. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya kerugian Negara dalam penyelenggaraan UN tingkat pendidikan dasar dan menengah yang bersumber dari dana APBN tahun 2012-2013. Hasil pemeriksaan menunjukkan adanya 14 kasus yang mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp 37,55 milyar. Hal ini dikarenakan anggaran disusun hanya berdasarkan pengalaman tahun sebelumnya (2012) tanpa mendasarkan dokumen pendukung yang lengkap dan tanpa dasar perhitungan (nasional.news.viva.vo.id).


Terlepas dari segala kekurangan dan berbagai bentuk penyimpangan yang menyertai pelaksanaan UN, kewenangan penyelenggaraan UN tetap menjadi hak dan kewajiban legal Pemerintah. Saya pribadi sebagai seorang calon guru tentu sangat berharap supaya diadakan evaluasi yang serius terhadap pelansanaan UN dan mengatasi semua masalah sampai ke akar-akarnya. Bagaimanapun, UN sebagai sarana untuk evaluasi pendidikan haruslah bersifat evaluative dan seimbang antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Jangan sampai pelaksanaan UN yang kacau (hingga kecurangan yang menyertainya) menjadi cerminan pendidikan di Indonesia.Ujian Nasional (UN) adalah sistem ecaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antardaerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikann, Departemen Pendidikan Nasional (Wikipedia). Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengembangan, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbafai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan (bab I pasal 1 ayat 21). Jika kita telisik lebih dalam lagi UU Nomor 20 Tahun 2003, di dalamnya sama sekali tidak terdapat kata Ujian Nasional, yang ada adalah evaluasi pendidikan. Jadi, apakah benar penyelenggaraan UN selama ini telah berjalan sesuai fungsinya sebagai pengevaluasi pendidikan?

Ditinjau dari mata pelajaran yang diujikan, dapat dikatakan bahwa UN hanya mengevaluasi kemampuan siswa dari aspek kognotif. Hal ini tentu saja menyimpang dari tujuan pendidikan nasional yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Akibatnya munculah paradigm di masyarakat bahwa prestasi akademik adalah tolak ukur kecerdasan seseorang. Ini tentu saja tidak benar, mengingat kemampuan seseorang yang berbeda satu sama lain.

Adanya UN juga memberikan tekanan psikologis tersendiri bagi para siswa. Mereka terkesan dituntut untuk menguasai materi akademik saja dan mengabaikan kemampuan nonakademik. Bidang akademik hanya dinomorduakan dan parahnya ada yang menganggap bahwa kegiatan nonakademik hanya penghambat untuk mencapai prestasi akademik.

Menilik tahun-tahun sebelumnya, ada banyak hal yang perlu dievaluasi dalam pelaksanaan UN. Sudah menjadi rahasia umum (atau bahkan bukan rahasia lagi) bahwa setiap UN pasti selalu ada kasus bocoran soal. Kasus ini seperti sebuah kecurangan sistematis yang telah tersusun rapid an sulit sekali diusut. Dilansir dari situs www.rinaldimunir.wordpress.com, di bilangan Jakarta Barat mekanisme pedistribusian bocoran soal UN melibatkan para guru dan kepala sekolah yang tergabunng dalam Tim Sukses UN. Semua anggota tim diberi tugas yang berbeda. Ada yang mendapatkan lembar soal, membuka, mengelem, menjawabsoal, mendistribusikan jawaban, hingga bekerja sama dengan pengawas. Masih terkait dengan kasus kecurangan UN, di wilayah yang berbeda, tepatnya di Lamongan, tujuh puluh kepala sekolah dan guru berkomplot mencuri soal UN pada pelaksanaan UN tahun 2014 lalu. Berita selengkapnya dapat Anda baca di sini. Sungguh ironis sekali jika guru yang sejatinya bertugas untuk mendidik karakter siswa justru terlibat dalam kecurangan sistematis ini.

Beralih dari masalah bocoran soal, masih ada hal lain lagi yang berlu dievaluasi dalam pelaksanaan UN, yaitu teknis pelaksanaan UN itu sendiri. Pada tahun 2013 misalnya, di mana UNuntuk tingkat SMA dan SMK bisa dikatakan sangat kacau. Sebelas provinsi dilaporkan belum menerima paket soal pada saat UN berlangsung. Sementara di sejumlah daerah lain pihak sekolah mengeluhkan kekurangan lembar soal dan lembar jawaban, paket mata pelajaran tertukar, juga kualitas kertas yang buruk sehingga mudah sobek. Sederet permasalahan ini ya, menyebabkan UN di sebelas provinsi terpaksa ditundi. Di tahun selanjutnya, 2014, UN kembali menuai kritik yang datangnya dari siswa dan guru. Standar soal yang terlampau tinggi dan menyimpang dari Standar Kriteria Kelulusan (SKL) membuat para siswa kesulitan dalam mengerjakan soal hingga banyak dari mereka yang pesimis akan nilai ujian nasiolnya.

Penyelenggaraan UN yang tidak optimal pada tahun 2013 juga berpengaruh terhadap APBN. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya kerugian Negara dalam penyelenggaraan UN tingkat pendidikan dasar dan menengah yang bersumber dari dana APBN tahun 2012-2013. Hasil pemeriksaan menunjukkan adanya 14 kasus yang mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp 37,55 milyar. Hal ini dikarenakan anggaran disusun hanya berdasarkan pengalaman tahun sebelumnya (2012) tanpa mendasarkan dokumen pendukung yang lengkap dan tanpa dasar perhitungan (nasional.news.viva.vo.id).

Terlepas dari segala kekurangan dan berbagai bentuk penyimpangan yang menyertai pelaksanaan UN, kewenangan penyelenggaraan UN tetap menjadi hak dan kewajiban legal Pemerintah. Saya pribadi sebagai seorang calon guru tentu sangat berharap supaya diadakan evaluasi yang serius terhadap pelansanaan UN dan mengatasi semua masalah sampai ke akar-akarnya. Bagaimanapun, UN sebgai evaluasi pendidikan haruslah bersifat evaluatif dan seimbang antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Jangan sampai pelaksanaan UN yang kacau (hingga kecurangan yang menyertainya) menjadi cerminan pendidikan di Indonesia.


P.S.
Essai ini saya tulis saat masih duduk di bangku SMA guna memenuhi tugas Bahasa Indonesia. Saya tulis ulang dengan sedikit perubahan seperlunya.
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com